Senin, 25 April 2011

M. NATSIR

HOS COKROAMINOTO DAN MOHAMMAD NATSIR
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
Mata kuliah: Sejarah Intelektual Islam di Indonesia
Dosen Pengampu: Herawati, S.Ag






Disusun oleh:
1. Adieb Aji Kurnia Ramadhan (08120012)
2. Riza Nur Fikri (08120027)
3. Laili Azizah (091200)






JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN

Pada awal abad ke 19 di Indonesia muncul gerakan nasional –khususnya dari kalangan Islam- yang mencoba menghimpun kekuatan untuk melawan pemerintah kolonial Belanda, mulai dari Budi Utomo, Sarekat Dagang Islam yang kemudian berkembang menjadi Serikat Islam dan gerakan-gerakan lainnya. Dari pergerakan itulah muncul para tokoh -intelektual- terkemuka dari kalangan Islam, salah satu tokoh yang terkenal adalah Oemar Said Cokroaminoto. Ia merupakan seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam perkembangan organisasi Sarekat Islam. Sebagai Intelektual Islam tentunya banyak pemikiran-pemikiran yang ia lahirkan. Salah satu gagasanya adalah tentang konsep Sosialisme Islam. Kemudian pada masa selanjutnya ada satu tokoh yang cukup terkemuka di kalangan umat Islam. Ia adalah Mohammad Natsir yang terkenal dengan ide Islam dan Nasionalismenya.
Pemikiran dari kedua tokoh diatas dapat dikatakan banyak berfokus pada bidang ketatanegaraan dan pemerintahan. Bagaimana profil kedua tokoh pembaharuan tersebut (?) dan bagaimana ide-ide atau pemikiran mereka dalam khazanah keilmuan Islam. (?). Inilah yang menjadi beberapa pertanyaan yang akan coba pemakalah uraikan pada pembahasan makalah ini. Makalah ini terdiri dari tiga bab yaitu pendahuluan, pembahasan, dan penutup. Pada bab pembahasan terbagi menjadi dua sub-bab dan masing-masing terbagi menjadi dua pokok pembahasan yaitu A) HOS Cokroaminoto: 1) Biografi singkat HOS Cokroaminoto dan 2) Ide dan Faham Pembaharuanya. B) Mohammad Natsir 1) Biografi singkat Mohammad Natsir dan 2) Ide dan Pembaharuanya.









*) Makalah ini disampaikan dalam kuliah Sejarah Intelektual Islam di Indonesia pada tanggal 03 Mei 2010
BAB II
PEMBAHASAN

A. Oemar Said Cokroaminoto
1. Biografi singkat Oemar Said Cokroaminoto
Oemar Said Cokroaminoto lahir pada hari senin, 16 Agustus 1882 M di desa Bakur, Kleco, Ponorogo, Jawa Timur. Ia adalah anak kedua dari dua belas bersaudara, putra dari Raden Mas Cokroamiseno, seorang Wedana Kleco dan cucu dari Raden Mas Cokronegoro, bupati Ponorogo. Dialah tokoh politik yang berhasil menggabungkan retorika politik melawan penjajah Belanda dengan ideologi Islam. Awal dunia pendidikan tentunya ia dapatkan dari lingkungan keluarganya yang secara kebudayaan masuk dalam golongan priyayi. Pendidikanya berlanjut di Oplayding School Foor Inladishe Ambegtenaren (OSVIA), sekolah pegawai pemerintahan pribumi, di Magelang. Setelah itu, -pada tahun 1900- ia menjadi pegawai pangreh praja walaupun akhirnya ia tinggalkan karena ‘muak’ dengan kebiasaan sembah jongkok yang baginya sangat melecehkan. Tahun 1905/1907(?) Cokroaminoto pindah ke Surabaya dan bekerja pada perusahaan gula Rogojampi, di samping itu ia juga belajar di sekolah malam Hogore Burger School.
Untuk merealisasikan perjuangannya ia (diajak) masuk ke dalam Sarekat Dagang Islam (SDI) yang saat itu dipimpin oleh Samanhudi di Solo yang didirikan tahun 1908, sebuah pergerakan pertama Indonesia yang menggelorakan semangat kemerdekaan. Cokroaminoto membenarkan garis dasar perjuangan perubahan sosial ekonomi yang diletakkan oleh Samanhudi dengan bertolak dari Islam. Pembenaran ini bertolak dari tujuan membela kepentingan rakyat. Sedangkan saat itu rakyat hanya mempunyai pengertian istilah yakni Islam. Penggunaan nama di luar Islam dirasakan kurang komunikatif. Pada tahun 1912, Sarekat Dagang Islam berganti nama menjadi Sarekat Islam dan ia terpilih menjadi ketua tepatnya pada tanggal 10 september 1912. Sebagai pemimpin SI, Ia dianggap orang yang berbakat dan mampu memikat massa. Ia dikenal sebagai seorang yang menganggap dirinya sama sederajat dengan pihak manapun juga baik dengan orang Belanda maupun dengan penduduk pribumi. Ia berkeinginan agar sikap ini juga dimiliki kaum sebangsanya. Oleh karena itu ia mengabdikan dirinya pada pergerakan tersebut. Ia juga merupakan guru yang mampu melahirkan tokoh-tokoh pergerakan hingga awal kemerdekaan. Diantara murid-murid Cokroaminoto yang terkenal adalah Sukarno, Kartosuwiryo dan juga Musso Alimin.
Disaat masuk dalam wilayah pergerakan nasional, Cokroaminoto pada awalnya mulai dikenal sebagai pemimpin lokal Sarekat Islam (SI) di Surabaya. Dibawah kepemimpinannya, Sarekat Islam menjadi organisasi yang besar dan bahkan mendapat pengakuan dari pemerintahan kolonial. Hal ini tidak lain, adalah sebagai hasil pendekatan kooperatif yang dijalankannya. Sepak terjang Cokroaminoto telah membuat pemerintah Belanda ‘gerah’, maka ia kemudian ditangkap dan dipenjara selama 8 bulan pada bulan Agustus 1921. Pada April 1922, ia dibebaskan dan kemudian mendirikan markas baru di Kedung Jati (sebuah kota kecil strategis yang merupakan titik temu jalur kereta api Semarang dan Jogjakarta). Dikota ini, ia mulai memofuskan diri pada persatuan Islam dan pada tahun itu juga, ia mendirikan Pembangunan Persatuan bersama Soepjopranoto untuk menarik dukungan Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputera (PPPB) kepada Central Sarekat Islam.
Setelah propagandanya gagal, ia pun kembali ke Markas CSI di Jogjakarta. Kelak dari kegagalannya inilah, pada akhirnya Cokroaminoto mulai merubah pandangan persatuan nasionalismenya, menuju pandangan sosialisme yang dibangun atas dasar Islam. Selanjutnya, tepat ketika ia berumur 40 tahun, Cokroaminoto mulai beralih kepada Islam dalam arti yang lebih serius. Pada September 1922, ia mulai menerbitkan artikel berseri “Islam dan Sosialisme” di Soeara Boemiputera dan mencoba mendasarkan pandangan sosialismenya pada Islam. Pada Kongres Al-Islam di Cirebon, 31 Oktober-2 November 1922, ia diangkat sebagai ketua kongres. Arti penting kongres ini, seperti dikatakan Agus Salim, yaitu untuk mendorong persatuan segala golongan orang Islam di Hindia atau Orang Islam di seluruh dunia untuk saling membantu. Sebagai tokoh SI, ia kemudian melakukan tour propaganda ke pertemuan SI-SI lokal. Dalam pidatonya ia melakukan pendikotomian antara Islam dan komunis. Baginya SI adalah berdasarkan Islam, dan karena kaum komunis itu Atheis (tidak bertuhan) maka komunisme tidak sesuai dengan SI. Sesudah kongres CSI di Madiun, 17-23 Februari 1923, Cokroaminoto semakin mengecam kaum komunis. Bahkan ia juga akan membentuk SI dan Partai Serikat Islam tandingan, ditempat-tempat dimana kaum komunis melakukan kontrol terhadap SI. Dengan demikian, dimulailah suatu upaya disiplin partai untuk membersihkan SI dari unsur komunis.
Pada 1928, kegiatan kaum pergerakan mulai mengarah kepada suatu persekutuan organisasi. Dalam hal ini, Partai Sarekat Islam masuk kedalam Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), bersama dengan PNI dan organisasi-organisasi kedaerahan. Untuk mempertahankan PSI dari ancaman faham nasionalisme-sekuler, Cokroaminoto mengingatkan para anggotanya agar tidak masuk organisasi yang tidak berdasar agama (Islam). Sentimen PSI ini, menimbulkan serangan balik dari kelompok nasionalis-sekuler Kecurigaan bahwa akan ada penguasaan atas PPKI yang dilakukan PNI atau PSI, menimbulkan hubungan yang kurang harmonis dalam PPPKI. Dalam posisi ini, Cokroaminoto bertindak sebagai tokoh kompromi untuk menyelamatkan PSI. Namun pada tahun 1930, PSI merubah namanya menjadi PSII yang akhirnya keluar dari PPPKI. Perjuangannya berakhir setelah ia meninggal dunia pada hari senin tanggal 17 desember 1934. Demikianlah sejarah Oemar Said Cokroaminoto dan perjuanganya dalam meletakkan dasar perubahan social politik menuju Indonesia Merdeka.
2. Ide dan Faham Pemikiran Cokroaminoto
Berawal dari penjajahan Belanda yang mengeksploitasi Indonesia dari berbagai bidang mulai perdagangan, social-politik, pendidikan dan berbagai bidang lainnya. Muncul Sarekat Islam (kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam) sebagai pergerakan yang mengusung kemerdekaan dengan berbasiskan Islam. Tetapi pada masa perkembangan selanjutnya gagasan sosialisme Barat (sosialisme Karl Marx) yang telah merasuk ke dalam ‘tubuh’ SI mengakibatkan perpecahan SI itu sendiri. SI pun terbagi mejadi dua kubu yaitu (kemudian disebut) SI-Putih dengan SI-Merah. SI-Merah lebih cenderung pada sosialisme Karl Marx. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor timbulnya gagasan Sosialisme yang berdasarkan Islam oleh Cokroaminoto.
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Humaidi (H.O.S Tjokroaminoto: Potret Pemikiran Nasionalisme Islam Indonesia), terdapat perubahan pola pikir dalam diri Cokroaminoto. Oleh karena itu Humaidi menggunakan istilah “Cokro Muda” dan “Cokro Tua”. “Cokro Muda” adalah Cokroaminoto yang bersemangat, dan melihat Islam sebagai alat untuk memperjuangkan nasionalisme dan memperjuangkan persatuan nasional. Sementara “Cokro Tua” adalah Cokroaminoto yang mulai berfikir secara dikotomis yaitu membedakan Islam dan komunisme sebagai bagian terpisah dalam menafsirkan nasionalisme. Ada dua hal yang kiranya dinilai penting atau bahkan memicu terjadinya perubahan dalam diri Cokroaminoto. Pertama, sejak Agustus 1921 hingga April 1922, Cokroaminoto berada dalam penjara. Kedua, Setelah keluar dari penjara, ia berusaha untuk kembali ke CSI dan menarik pengikut dari kaum buruh tetapi usahanya ini gagal, Tentunya, hal ini semakin menguatkan perspektifnya bahwa nasionalisme harus dibangun atas dasar kesamaan, dan untuk itu diperlukan unsur pembeda guna membersihkannya dari unsur lain dan hal itu adalah Islam.
Sosialisme yang diinginkan oleh Cokroaminoto adalah sosialisme yang berdasarkan kepada ajaran agama Islam. Dasar sosialismenya merujuk pada Q.S Al Baqarah ayat 213 yang dalam terjemah bahasa Indonesianya berbunyi: “Manusia itu adalah umat yang satu” dan juga Q.S Al Hujurat ayat 13, yang menyatakan bahwa kita ini telah diciptakan dari laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kita saling mengenal. Berdasarkan inilah Islam memandang masyarakat sebagai individu yang terkait dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat lainnya.
Dalam bukunya yang berjudul Islam dan Sosialisme (1924), Cokroaminoto menerangkan tentang 4 konsep Islam yaitu: 1) Islam itu aslama maknanya taat kepada Allah, utusan-Nya, dan pada pemerintah. Seperti yang tercantum dalam Q.S An Nisa ayat 59. 2) Islam itu salimun artinya selamat, maksudnya jika orang Islam menjalankan perintah agama niscaya ia akan mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. 3) Islam berasal dari kata salmi yang artinya rukun, maksudnya orang orang yang berpegang teguh pada agama Islam yang diwajibkan melaksanakan rukun, dan 4) Islam berasal dari kata sullam yang artinya tangga, maksudnya orang Islam akan mencapai derajat yang tinggi manakala dapat menjalankan ajaran Islam secara sungguh-sungguh.
Ia menambahkan bahwa Islam telah menumbuhkan persaudaraan yang benar-benar harus dilaksanakan antara umat Islam di Negara manapun juga, baik yang berkulit putih, hitam, coklat, baik kaya maupun miskin. Persaudaraan dapat melenyapkan permusuhan. Ia kemudian menganalogikan dengan kehidupan masyarakat pada masa Rasulullah SAW. Menurutnya Islam dengan mekanisme zakat memberikan pelajaran tentang pemenuhan kebutuhan secara merata. Kedermawanan Islam ini termasuk dalam sosialisme Islam. Untuk mewujudkan sosialisme ada tiga dasar yang harus dilaksanakan yaitu: 1) Membangun perasaan rela mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan umum. 2) Membagi kekayaan sama rata dalam dunia Islam dengan mekanisme zakat, dan 3) Menuntun perasaan orang supaya tidak menganggap kemiskinan itu suatu penghinaan karena itu lebih baik dari kejahatan.
Ide-ide dan gagasan Cokroaminoto banyak dituangkan dalam buku maupun tulisannya, diantara karyanya adalah sebagai berikut:
1) Tafsir Program azas dan Progran Tanzim (1913), buku yang bernuansakan mistis tentang pengalaman religiusnya.
2) Islam dan Sosialisme (1924), berisi tentang paparan Islam vis a vis dengan sosialisme.
3) Moeslim National Onderwijs (1925), berisi tentang cita-cita kependidikan HOS Cokroaminoto.
4) Regiment Umum Bagi Umat Islam (1937), tentang petunjuk-petunjuk menjalankan Islam yang seluas-luasnya.
5) Tarikh Agama Islam yang berisi tentang sejarah umat Islam.
Demikianlah secara singkat tentang gagasan Sosialisme Islam yang diungkapkan oleh HOS Cokroaminoto.

B. Mohammad Natsir
1. Biografi Singkat Mohammad Natsir
Mohammad Natsir yang bergelar Datuk Sinaro Panjang terlahir di Jembatan Berukir Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatra Barat, pada hari Jumat, 17 Jumadil Akhir 1326 H atau 17 Juli 1908. Ibunya bernama Khadijah dan ayahnya Muhammad Idris Sutan Saripado, seorang pegawai rendahan yang pernah menjadi juru tulis kantor kontroler di Maninjau. Pada tahun 1918 ia dipindahkan dari Alahan ke Ujung Pandang sebagai sipir tahanan. Natsir mempunyai tiga saudara kandung. Di tempat kelahirannya, ia melewati masa-masa sosialisasi keagamaan dan intelektualnya yang pertama. Ia menempuh pendidikan dasar di sekolahan Belanda dan belajar agama. Pada umurnya yang kedelapan belas tahun, ia berkeinginan masuk ke HIS namun tidak terlaksana karena ia anak seorang pegawai rendahan. Ia pun masuk sekolah partkelir HIS Adabiyah di Padang.
Beberapa bulan berikutnya ia dipindahkan ke sekolah HIS pemerintah di Solok. Di Solok inilah ia untuk pertama kalinya belajar bahasa Arab dan mempelajari hukum fiqh kepada Tuanku Mudo Amin yang dilakukannya di sore hari di Madrasah Diniyah dan mengaji Al-Quran pada malam harinya. Pada tahun 1920 ia pindah ke Padang. Ia menamatkan pendidikan HIS-nya pada tahun 1923 . Pada tahun 1923 ia melanjutkan pendidikannya ke MULO di Padang dengan beasiswa dan aktif diberbagai kegiatan dan tahun 1927 ia lulus dari MULO dan meneruskan ke Algememe Midlebare School (AMS) di Bandung. Di kota ini Natsir bertemu dengan tokoh Islam radikal, Ahmad Hassan yang diakuinya sangat mempengaruhi alam pikirannya. Sejak belajar di AMS, Natsir mulai tertarik pada pegerakan Islam dan belajar politik di perkumpulan Jong Islamieten Bond (JIB). Organisasi ini mendapat pengaruh dari Haji Agus Salim. Disini ia dapat bergaul dengan tokoh-tokoh yang lebih tua seperti, Mohammad Hatta, Cokroaminoto, Prawoto, Mangunsasmito, Yusuf Wibisono dan Moh Roem. Dalam JIB, ia sering berdiskusi dengan teman-temanya. Kemampuannya yang menonjol mengantarkan ia menjadi ketua JIB Bandung pada tahun 1928-1932. Kegiatan Natsir pada waktu itu telah mempengaruhi jiwanya untuk meraih gelar MR. Ia lulus dari AMS pada tahun 1930 setelah itu, Natsir mengajar salah satu MULO di Bandung.
Natsir mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam yang mengombinasikan pendidikan umum dan pesantren. Ia menjabat sebagai direktur selama sepuluh tahun sejak tahun 1932. Pada tanggal 20 Oktober 1934, ia menikah dengan Nurnahar dan dikaruniai enam orang anak. Pada tahun 1938, Natsir mulai aktif dalam bidang politik dengan mendaftarkan dirinya menjadi anggota Partai Islam Indonesia. Tahun 1940-1942 ia menjabat sebagai ketua dan bekerja di pemerintahan Jepang sebagai kepala biro pendidikan kodya Bandung sampai tahun 1945 sekaligus merangkap sebagai sekretaris Sekolah Tinggi Islam di Jakarta. Selain itu, Natsir juga menjabat sebagai ketua partai Masyumi yang dibentuk pada tanggal 7 November 1945.
Pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, Natsir tampil menjadi salah seorang politisi dan pemimpin Negara. Setelah Indonesia merdeka ia dipercayai menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Pada masa kebinet Sutan Syahrir ia menjadi menteri penerangan. Tampilnya Natsir ke puncak pemerintahan tidak terlepas dari langkah strategisnya mengemukakan mosi pada sidang perlemen Republik Indonesia serikat (RIS) pada tanggal 3 April 1950 yang lebih dikenal dengan sebutan Mosi Integral M Natsir. Natsir juga sempat dipenjara karena menentang pemerintahan Demokrasi Terpimpin (1962-1964).
Melalui yayasan yang dibentuknya bersama para ulama di Jakarta yaitu Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Natsir memulai aktivitas perjuanganya dengan memakai format dakwah, bukan politik lagi. Selain di dalam negeri nama Natsir juga ternama di dunia ketika pada tahun 1956 bersama Syeikh Maulana Abdul A’la al Maududi (Lahore) dan Abu Hasan an-Nadawi (Lucknow), ia memimpin sidang Muktamar Alam Islamy di Damskus. Ia juga menjabat Wakil Presiden Kongres Islam Sedunia yang berpusat di Pakistan dan Muktamar Alam Islamy di Arab Saudi. Perjalanan kehidupan Mohammad Natsir berakhir ketika ia meninggal dunia pada tanggal 6 Februari 1993 bertepatan dengan tanggal 14 Sya’ban 1413 H di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
2. Ide dan Pembaharuan Mohammad Natsir
Deliar Noer menyebutkan Natsir sebagai intelektual-ulama atau ulama-intelektual. Ia tidak hanya berkecimpung dalam dunia politik tapi juga dalam dunia keagamaan dan pendidikan. Gagasan-gagasan politik Natsir yang pertama kali dilontarkanya pada awal tahun 1930 memperlihatkan cirri-ciri kemanusiaan “modernisme Islam”. Latar belakang sosialisasi intelektual dan keagamaannya serta tantangan dari berbagai aliran pemikiran yang berusaha untuk memojokkan Islam terutama dari kaum orientalis Belanda, tokoh-tokoh nasionalisme yang cenderung sekuler dan berusaha membangkitkan nostalgia zaman pra-Islam mendorong Natsir untuk mengikuti jejak modernisme politik pendahulunya yakni Agus Salim dan HOS Cokroaminoto.
Pemikiran Natsir dimasa muda memperlihatkan corak mempertahakan Islam dari serangan pihak-pihak yang ingin menyudutkanya. Secara empiris, kedaan kaum muslimin Indonesia di masa itu memang dapat dikatakan berada dalam suasana kemunduran di berbagai aspek kehidupan. Banyak faktor yang mempengaruhi semua ini, salah satunya adalah penjajahan yang berkepanjangan dan sikap penjajah yang memusuhi penduduk pribumi khususnya Islam.
Seperti pandangan tokoh modernis lainya, Natsir melihat kemajuan atau kemunduran umat Islam tergantung pada bagaimana pemahaman dan penghayatan doktrin tauhid serta bagaimana mengamalkan ajaran Islam itu dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, Natsir bertindak sebagai seorang reformis yang berusaha untuk memberikan interpretasi baru pada doktrin-doktrin keagamaan yang mengajak masyarakat untuk memurnikan pelaksanaan amalan-amalan keagamaan dari unsur-unsur bukan Islam. Pengruh pandangan keagamaan Ahmad Hassan –pemimpin Persis- yang menjadi gurunya, tampak dalam usahanya di bidang ini. Setelah memperdebatkan dan fokus pada bidang aqidah ini, perhatian selanjutnya ditujukan pada persoalan-persoalan ke-Islaman yang lebih luas mencakup persoalan-persoalan masyarakat dan politik. Bagi Natsir, tauhid akan membuat hidup manusia menjadi lebih bermakna. Tauhid juga menumbuhkan rasa tanggung jawab individual manusia terhadap Allah.
Pandangan mengenai tauhid seperti dikemukakan diatas menjadi tumpuan tentang ‘modernisme politik Islam’ yang dianutnya. Istilah modernisme politik Islam diartikan sebagai suatu sikap dan pandangan yang berusaha menerapkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai keruhaniahan, sosial dan politik Islam yang terkandung dalam al Qur’an dan Sunnah serta menyesuaikan dengan perkembangan mutakhir dalam sejarah peradaban umat manusia. Menurutnya islam tidak sekularisme karena Islam tidak memisahkan urusan keruhanian-akhirat dengan urusan keduaniaan. Menurut Yuzril Ihza Mahendra, Natsir tampaknya mengikuti pandangan Ibnu Timiyah yang melihat Negara sebagai sesuatu yang “perlu” untuk menegakkan ajaran agama, namun eksistensinya adalah sebagai alat belaka dan bukan kelembagaan agama itu sendiri.
Yang menjadi menarik pada pembahasan Islam dan Nasionalismenya Natsir, adalah tanggapanya mengenai konsep demokrasi. Seperti yang dituliskan tadi –yang menjadi menarik- ketika Soekarno mengutarakan konsep Demokrasi Terpimpin-nya yang berdasarkan Pancasila dan menyatakan menolak konsep Negara Islam, Natsir mengkritik tajam akan pernyataan Soekarno tersebut. Natsir mengatakan bahwa “Pancasila tidak patut dijadikan ideologi Negara, karena semua sila-sila itu relatif. Berbeda dengan Pancasila, Islam memiliki hukum-hukum yang diberikan kepada manusia oleh Tuhan melalui wahyu yang memberi ukuran mutlak untuk mengatur persoalan-persoalan manusia.” Pernyataan Natsir seolah-olah menolak akan penggunan sistem demokrasi di Indonesia. Di kesempatan lain dalam sebuah pidatonya Natsir mengatakan: “Apabila demokrasi di Indonesia sampai dikubur, tidak kurang lebih itu berarti berakhirnya Republik Indonesia ini. Hendaklah kita insafi bahwa demokrasi itu adalah sebuah sistem yang sulit, lebih sulit dari sistem-sistem yang lain. Tetapi kita harus berani menghadapi kesulitan-kesulitan itu, bila satu kali jalan yang sudah kita tempuh.”
Hal ini menarik untuk dikaji lebih jauh dan kiranya Yuzril telah memberikan analisisnya. Pembelaan Natsir terhadap demokrasi itu dilatarbelakangi oleh kekhawatiranya terhadap munculnya kediktatoran pemerintah di Indonesia dan bahaya Komunisme yang sedang mengancam. Meski demikian, Natsir tetap yakin interpretasi paling modern tentang demokrasi sebenarnya dapat ditemukan di dalam Islam. Menurut Natsir, demokrasi yang dikehendaki Islam hampir serupa dengan sistem demokrasi liberal, kecuali panduan dalam mengambil keputusan politik. Interpretasinya terumuskan dalam konsep ijtihad, syura dan ijma’. Ijtihad berguna untuk menghadapkan Islam dengan dinamika perubahan masyarakat. Sedangkan Ijma’ diartikan sebagai kesepakatan mayoritas kaum muslimin dengan berlandaskan asa-asas doktrin di dalam al Qur’an dan Sunnah. Menurut Natsir, konsep ijtihad dan ijma’ jika dihubungkan dengan konsep syura dapat diwujudkan dalam bentuk sebuah parlemen yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat.
Untuk dapat lebih memahami pemikiran Moahammad Natsir, kiranya dapat dibaca melalui karya-karyanya antara lain:
1) Agama dan Negara, Falsafah Perjuangan Islam (Medan: t.p. 1951), yang berbicara tentang hubungan Agama dan Negara serta upaya umat Islam dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam.
2) Dari Masa ke Masa (Jakarta: Fajar Shadiq, 1975) yang memuat soal pribadi, pembinaan keluarga, penjajahan dan kemerdekaan
Demikianlah konsep pemikiran Mohammad Natsir dalam pembahasan mengenai persoalan Islam yang dihadapkan pada Nasionalisme.
BAB III
PENUTUP

Uraian diatas –sedikit atau banyak- telah memberikan gambaran tentang faham pembaharuan yang dilakukan oleh kedua tokoh tersebut yaitu HOS Cokroaminoto dan Mohammad Natsir. Cokroaminoto sebagai orang Jawa yang belatar belakang keluarga priyayi. adalah ‘senior’ dari Natsir yang dilahirkan di tanah minang. Minang suatu daerah yang –saat itu- dikenal sebagai pelopor gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. HOS Cokroaminoto lebih menekankan pada pelaksanaan sosialisme yang sesuai dengan Islam dalam tatanan pemerintahan dan Mohammad Natsir lebih menitik beratkan pada penggunaan sistem pemerintahan (demokrasi atau lainya) yang berlandaskan pada ajaran agama Islam yaitu al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Demikian makalah yang telah kami buat, semoga memberikan manfaaat.

DAFTAR PUSTAKA
Bashri, Yanto dan Retno Suffanti (ed.), Sejarah Tokoh Bangsa, Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2005
Djaja,Tamar dan Pustaka Indonesia, Riwayat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air, Jakarta: Bulan Bintang 1966
Feith, Herbert dan Lance Castles (ed.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 Terj. Jakarta: PT Pustaka LP3ES, 1995
Luth,Thohir, M Natsir : Dakwah dan Pemikirannya, Yogyakarta : Gema Insani
Mansur, Sejarah Sarekat Islam dan Pendidikan Bangsa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta : LP3ES, 1990
Suryanegara, Ahmad Mansur, Menemukan Sejarah, Bandung: Mizan, 1995
Zaini Muttaqien, Sosialisme Islam menurut Pandangan HOS Cokroaminoto (1924-1934) dan Ali Syari’ati (1953-1977), Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, 2007
http://forum.detik.com/showthread.php?t=107418
http://newhistorian.wordpress.com/2007/04/29/hos-tjokroaminoto/
http://www.ensiklopedia tokoh Indonesia.com/

dinasti timuriyah

DINASTI TIMURIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu dinasti yang berkuasa di wilayah Persia adalah dinasti Timuriyah. Dinasti ini berkuasa di seluruh daratan Persia dan Asia Tengah pada abad ke-14 sampai abad ke-15. Dinasti Timuriyah merupakan dinasti yang menganut Islam sunni. Dinasti ini didirikan oleh Timur Lenk yang lahir pada tahun 1336 di kota Kish. Kehadiran dinasti Timuriyah mewakili gelombang besar ketiga perpindahan dan penaklukan suku bangsa Asia Tengah ke dunia Islam.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai sejarah singkat berdirinya dinasti Timuriyah, ekspansi wilayah, serta kemunduran Timuriyah di daerah Persia khususnya.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah Berdirinya Dinasti Timuriyah
Dinasti Timuriyah didirikan oleh Timur Lenk yang lahir di kota Kish, sebelah selatan Samarkand di Transoxiana, pada tanggal 8 April 1336 M/25 Sya'ban 736 H. Ayahnya bernama Taragai, kepala Suku Barlas, keturunan Karachar Noyan yang menjadi menteri dan kerabat Jagatai, putera Jengis Khan. Suku Barlas mengikuti Jagatai mengembara ke arah barat dan menetap di Samarkand. Taragai menjadi gubernur Kish. Keluarganya mengaku keturunan Jengis Khan sendiri. Di masa kesilnya, Timur menghabiskan waktu untuk menggembala kambing dan mendapat julukan “Lenk” yang artinya pincang. Timur tumbuh menjadi seorang pemuda yang memiliki perhatian dalam hal kemiliteran. Karena itu, ia masuk angkatan perang local Amir Husein dan pernah menjadi pemimpin. Timur dikenal sebagai seorang yang gigih dalam menjaga daerahnya dari ancaman tuglaq Timur Khan, penguasa dinasti Chaghatayi.pada tahun 1361 Timur diangkat menjadi wazir Gubernur Ilyas, anak Tuglaq Timur Khan yang berkuasa di Samarkand. Namun Timur tidak puas atas kedudukannya. Ia menggalang kekuatan bersama Amir Husein untuk memberontak Tuglaq Timur Khan. Ia berhasil mengalahkan pasukan Timur Khan dan bahkan Timur Khan dan Ilyas mati di medan pertempuran. Kemenangan ini dimanfaatkan Timur untuk menyerang sekutunya, Amir Husein. Amir Husein terbunuh oleh Timur. Akhirnya pada tanggal 10 April 1370 di Balkan Timur memproklamasikan diri sebagai pemimpin dan penguasa tunggal atas daerah kekuasaan dinasti Chaghatayi. Hal ini juga menandakan berdirinya dinasti Timuriyah.
2. Ekspansi Wilayah Dinasti Timuriyah
Dalam menegakkan kekuasaannya, Timur didukung oleh elit muslim setempat, termasuk Syaikh al-Islam di Samarkand dan kalangan sufi yang menjadi penasihat spiritaulnya. Tokoh-tokoh agama Islam bekerja sebagai qodli, diplomat, dan tutor bagi paneran-pangeran muda.
Setelah merasa kedudukannya kuat di Samarkand, Timur Lenk segera melaksanakan ambisinya untuk memperluas daerah kekuasaannya. Dengan dukungan dari pasukan dan para tokoh ulama, Timur Lenk berhasil menaklukan beberapa dinasti lain yang berada di bawahnya. Daerah Khawarizmi dan Jata dikuasai pada tahun 1380 setelah bertempur selama sepuluh tahun. Pada tahun 1381 M ia menyerang dan berhasil menaklukkan Khurasan yang merupakan pintu masuk ke Persia, Irak, dan Mesopotamia. Selama tahun 1381-1382 Timur Lenk berhasil menguasai Herat, Masyad, Sabzavar, Astarabad, Mazandaran, dan Sistan. Di setiap negeri yang ditaklukkannya, ia membantai penduduk yang melakukan perlawanan. Di Sabzavar, bahkan ia membangun menara yang disusun dari 2000 mayat manusia yang dibalut dengan batu dan tanah liat. Tahap berikutnya adalah kemenangan Timur Lenk ats Fars, Irak, Luristan, dan Azerbaijan. Pada tahun 1387 Timur menghabiskan waktunya di Tabriz. Pada saat bersamaan ia juga harus mengatasi pemberontakan anaknya, Umar Syaikh di daerah Transoksania. Setelah berhasil meredakan pemberontakan, Timur melanjutkan ekspansinya yang dikenal dengan “perang lima tahun”. Tujuan utama ekspedisi ini adalah menalukan daerah disekitar Laut Kaspia, menggulingkan dinasti Muzaffari, dan menguasai daerah Mesopotamia. Pada tahun 1393 M ia menghancurkan dinasti Muzhaffari di Fars dan membantai amir-amirnya yang masih hidup. Pada tahun itu pula Baghdad dijarahnya dan setahun kemudian ia berhasil menduduki Mesopotamia.
Setelah memukul mundur pasukan dinasti Jalayiri, Timur menerobos ke asia Kecil menaklukan Edesa, Tarkit, Mardin, dan Amid. Gerak pasukan Timur ke utara mendapat perlawanan dari Tuqtamish. Namun, tentara Tuqtamish berhasil di kalahkan dan Kipcak jatuh ke tangan Timur pada tahun 1395. Tahun berikutnya Moskow dan Georgia jatuh juga ke tangan Timur. Sambil menaklukan beberapa pemberontakan, Timur mengarahkan pasukannya ke daerah India untuk mengalahkan dinasti-dinasti muslim di sana. Pada bulan April 1398pasukan Timur menusuri lembah sungai Indusdan akhir tahun tersebut kota Delhi dapat direbut. Delapan puluh ribu penduduk Delhi menjai korban kekejaman pasukan Timur dan Sultan Mahmud III sebagai raja Delhi melarikan diri ke Gujarat.
Sementara Timur arus mengembalikan konsentrasi pasukannya kePersia dan Asia Kecil untuk menumpas pemberontakan Dinasti Jalayiri yang telah menguasai Azerbaijan. Miransyah, anak Timur sendiri juga ikut melakukan pemberontakan. Pada Agustus 1400 Timur menyerbu Georgia dan dan empat ribu tentara Kristen dibakar hidup-hidup dan kota penting, Malathya berhasil ditaklukan.
3. Kemunduran Timuriyah
Dengan terbunuhnya Ulugh Beg, kehancuran Timuriyah semakin nyata. Terjadi perebutan kekuasaan antara para keturunannya. Abdul Ltif hanya bertahta enam bulan lalu digantikan oleh Abdullah Mirza, cucu Syakhrukh. Tetapi ia juga mengalami nasib yang sama karena kekuasaannya direnut oleh Abu Said yang sebetulnya bukan keturunan langsung dinasti Timuriyah. Di saat situasi yang kacau, Abu Said dengan bantuan suku Uzbek berhasil menduduki tahta kerajaan kemudian disusul transoksania. Tahun 1415 Abu Said berhasil mengalahkan Abdullah Mirza sebagai penguasa Timuriyah dan memproklamasikan diri menjadi penguasa Timuriyah.


BAB III
PENUTUP

Minggu, 17 April 2011

indahnya kebersamaan






indahnya persahabatan tidak akan terkalahkan oleh apapun. kebersamaan menjadi hal yang paling berharga. dalam suka dan duka jika bersama sahabat terasa lebih indah. ...............